Iman Sebagai Buah Roh

Teaching Legacy Letter
*First Published: 2007
*Last Updated: Desember 2025
14 min read
Melalui surat pengajaran saya sebelumnya, kita sudah mengamati kesembilan karunia Roh yang disebutkan Paulus di I Korintus 12:8-10. Kali ini kita akan memperhatikan kesembilan buah Roh yang disampaikan Paulus di Galatia 5:22-23:
“Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri”.
Buah yang ketujuh di sana adalah “kesetiaan” atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai “faith” yang berarti “iman”. Beberapa Alkitab versi yang lebih modern menerjemahkan kata itu menjadi “keloyalan,” atau “sifat dapat dipercaya”. Meskipun demikian, kata benda dalam bahasa Yunani yang sesungguhnya dipergunakan Paulus di ayat itu adalah pistis. Pistis adalah kata dasar yang dipakai untuk menyebut iman didalam seluruh Perjanjian Baru.
Buah Roh versus Karunia Roh
Salah satu cara untuk mengamati perbedaan kedua hal itu adalah dengan membandingkan antara pohon Natal dengan pohon apel. Pohon Natal biasanya dihiasi dengan hadiah-hadiah Natal. Sedangkan pohon apel ditumbuhi buah apel. Hadiah Natal dapat dipasang dan dilepaskan dari pohon Natal dengan mudah dan dalam waktu sekejap. Tidak ada hubungan langsung, berupa kesamaan sifat antara sebuah pohon Natal dengan hadiah Natal yang dipasang padanya: hadiah Natal bisa saja berupa pakaian, sedangkan pohon Natalnya dapat berupa pohon cemara. Hadiah Natal tidak memiliki sifat dari pohon Natal.
Sebaliknya, ada kaitan langsung antara sebuah apel dengan pohon yang menghasilkannya. Sifat sebuah pohon menentukan sifat buahnya – baik dalam jenis maupun kualitasnya. Pohon apel tidak mungkin menghasilkan buah jeruk. Pohon yang subur akan menghasilkan buah yang baik (lihat Matius 7:17-20). Buah pada pohon apel tidak dihasilkan dalam waktu sekejap, melainkan merupakan hasil dari sebuah proses pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung terus-menerus tanpa henti. Untuk menghasilkan buah yang baik, pohon itu harus dipelihara dengan saksama. Hal ini memerlukan waktu, keahlian dan kerja keras.
Sekarang, kita akan terapkan perumpamaan sederhana itu pada masalah rohani. Karunia Roh diberikan dan diterima melalui sebuah kejadian yang berlangsung hanya sesaat. Karunia Roh tidak memperlihatkan sifat orang yang mempergunakan karunia tersebut. Sebaliknya, buah Roh menunjukkan sifat manusia yang menghasilkan buah tersebut; buah Roh hanya dapat dihasilkan melalui suatu proses pertumbuhan. Untuk menghasilkan buah yang terbaik, hidup manusia harus dipelihara secara saksama, dan hal ini memerlukan waktu, keahlian serta kerja keras.
Cara lain untuk mengungkapkan perbedaan itu adalah dengan mengatakan bahwa karunia Roh memperlihatkan kemampuan, sedangkan buah Roh memperlihatkan karakter.
Manakah yang lebih penting? Untuk jangka waktu panjang, tentu saja karakter lebih penting daripada kemampuan. Pemakaian karunia bersifat sementara. Sebagaimana dijelaskan Paulus di I Korintus 13:8-13, suatu saat kelak karunia rohani tidak akan diperlukan lagi. Sedangkan karakter bersifat menetap. Karakter yang kita kembangkan dalam kehidupan sekarang ini, kelak akan menentukan keadaan kita di sepanjang kekekalan. Suatu hari nanti kita akan meninggalkan semua karunia kita; namun karakter akan menetap didalam diri kita selama-lamanya.
Meskipun demikian, kita tidak perlu memilih hanya salah satu dari kedua hal itu dan mengabaikan yang lain. Karunia Roh tidak membuat buah Roh menjadi tidak berguna, demikian pula buah Roh tidak membuat karunia Roh menjadi tidak berguna. Sebaliknya, kedua hal ini dimaksudkan untuk saling melengkapi. Karunia harus menjadi sarana untuk mengungkapkan karakter secara praktis, sebagaimana yang terjadi secara sempurna dalam pribadi Yesus sendiri. Karakter Yesus yang penuh kasih dan pemurah itu diungkapkan melalui sarana yang mampu mengungkapkan karakter itu semaksimal mungkin yaitu melalui pemakaian karunia Roh. Hanya dengan mempraktekkan karunia Roh sajalah Yesus dapat memenuhi kebutuhan orang-orang, yang kepadanya Yesus datang untuk melayani. Dan dengan cara itu, Ia mengungkapkan kepada mereka secara sempurna sifat BapaNya di surga yang diwakiliNya (lihatYohanes 14:9-11).
Kita harus berusaha mengikuti teladan Kristus. Semakin banyak sifat Yesus – kasih sayang, perhatian, belas kasihan, yang kita kembangkan dalam diri kita, maka kita akan semakin banyak memerlukan karunia-karunia yang sama dengan yang Yesus pergunakan untuk mengungkapkan sifat-sifatNya itu secara praktis dan nyata. Semakin banyak kita dilengkapi dengan karunia-karunia itu, akan semakin besar pula kemampuan kita untuk memuliakan Allah Bapa kita, sebagaimana yangYesus sudah lakukan.
Buah Roh mengungkapkan karakter. Kesembilan buah Roh yang matang dengan sempurna mewakili keseluruhan karakter Kristiani, dan masing-masing buah Roh itu memenuhi satu kebutuhan tertentu serta bersifat melengkapi satu sama lain. Secara keseluruhan, buah Roh dapat dipandang dari dua sisi yang berkaitan dengan dua arti kata pistis yang berbeda maknanya namun saling berhubungan. Arti yang pertama adalah percaya; dan arti yang kedua adalah dapat dipercaya.
Iman yang Berarti Percaya
Sisi pertama dari iman sebagai buah Roh adalah . Alkitab versi Yerusalem menerjemahkan kata sebagai “penuh kepercayaan”. Berulangkali Yesus menegaskan bahwa salah satu persyaratan yang berlaku untuk semua orang yang hendak masuk ke dalam Kerajaan Allah adalah harus menjadi seperti anak kecil (lihat Matius 18:1-4; 19:13-14; Markus 10:13-16; Lukas 18:15-17). Besar kemungkinan tidak ada sifat lain yang lebih menonjol dari sifat seorang anak kecil selain dari sifatnya yang penuh kepercayaan. Dan anehnya, sifat ini dalam bentuknya yang paling sempurna justru dimiliki hambahamba Allah yang paling bersifat dewasa dan matang - yaitu orang-orang seperti Abraham, Musa, Daud, dan Paulus. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kadar kepercayaan dalam diri kita merupakan tolok ukur yang tepat untuk menentukan tingkat kedewasaan rohani kita.
Secara lebih lengkap, iman sebagai buah Roh - dalam arti penuh kepercayaan - dapat dijabarkan sebagai rasa percaya yang tenang, teguh, dan tidak terombang-ambing terhadap kebaikan, hikmat dan kesetiaan Allah. Orang yang sudah mengembangkan buah iman ini akan tetap tenang dan tidak gelisah dalam menghadapi pencobaan atau malapetaka apapun yang mungkin menghadang di depan mata. Dia mempunyai kepercayaan yang tidak tergoyahkan bahwa Allah senantiasa memegang kendali sepenuhnya dari setiap keadaan dan bahwa di dalam dan melalui semua keadaan itu, Allah sesungguhnya sedang bekerja menggenapi rencanaNya untuk memberkati setiap anakNya.
setiap anakNya. Wujud lahiriah dari jenis rasa percaya ini adalah keteguhan hati yang mantap. Hal ini dinyatakan dengan begitu indahnya oleh Daud dalam Mazmur 125:1:
“Orang-orang yang percaya kepada Tuhan adalah seperti gunung Sion yang tidak goyang, yang tetap untuk selama-lamanya”.
Semua gunung di muka bumi ini dapat bergetar, tergoncang bahkan berpindah tempat, namun ada satu gunung yang tinggal tetap. Gunung Sion tidak akan pernah goyang sama sekali. Tuhan sudah memilih gunung itu sebagai tempat kediamanNya, dan hanya Sion itulah satu-satunya gunung yang akan tinggal tetap selama-lamanya.
Demikian pula halnya dengan orang beriman yang sudah mengerti akan arti percaya. Orang-orang lain di sekelilingnya mungkin akan menjadi panik dan kebingungan, namun orang ini akan tetap tenang dan merasa aman, karena
“…alasnya adalah di atas bukit kesucian” (Mazmur 87:1) [Alkitab Terjemahan Lama]
Kita harus menyadari dan percaya sepenuhnya bahwa jiwa kita aman di dalam tangan Allah. Kunci untuk memiliki rasa percaya sedemikian ini adalah dengan menaruh komitmen. Terlebih dahulu kita harus dengan tegas menyerahkan hidup kita kepadaYesus Kristus. Kemudian pada saat mengalami pencobaan - mungkin bahkan saat berada di ambang kekekalan – kita tidak perlu membuat komitmen lagi. Kita hanya perlu tinggal tenang dalam komitmen yang sudah kita buat – komitmen yang menyangkut hidup dan mati kita, yang mencakup masa kini dan kekekalan.
Di Mazmur 37:5 Daud berkata
“Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepadaNya, dan Ia akan bertindak".
Jika diartikan secara lebih harfiah ayat ini berbunyi, “dan Ia akan melakukannya.” Ada dua hal yang harus kita lakukan. Yang pertama berupa sebuah tindakan, “serahkanlah.” Yang kedua berupa sikap hati, “percayalah”. Tindakan menyerahkan membawa kita menuju ke sikap hati berupa percaya. Selama kita terus memelihara sikap hati yang percaya, Daud meyakinkan kita bahwa Tuhan “akan melakukannya”.
Menyerahkan sesuatu kepada Allah itu seperti datang ke bank untuk menabung. Begitu kita mendapatkan tanda terima dari petugas bank untuk sejumlah uang yang sudah kita tabungkan, kita tidak perlu lagi mencemaskan keamanan uang kita tersebut. Tanggung jawab atas uang tersebut sekarang ada di pihak bank. Anehnya, orang dengan mudah mempercayai bank untuk mengurus uang mereka namun sangat sulit untuk mempercayakan kepada Allah hal-hal pribadi mereka yang begitu penting.
Contoh menabung di bank itu menggambarkan satu unsur penting dalam membuat suatu komitmen yang membuahkan hasil. Saat keluar dari bank, kita membawa sebuah tanda bukti resmi yang mencatumkan tanggal, tempat dan jumlah uang yang kita tabung. Semuanya dinyatakan dengan tegas dan jelas. Kita juga harus bersikap tegas dan jelas mengenai hal-hal yang kita serahkan kepada Tuhan. Kita perlu mengetahui tanpa keraguan sedikit pun, segala hal yang kita serahkan dan waktu serta tempat komitmen itu dibuat. Kita juga perlu memiliki tanda bukti resmi dari Roh Kudus yang menyatakan bahwa Tuhan sudah menerima semua yang kita serahkan itu.
Sikap Percaya Harus Dipelihara
Sikap percaya, sebagaimana buah-buah lain, perlu dipelihara dan harus melalui sejumlah tahap perkembangan sebelum menjadi matang dengan sempurna. Perkataan Daud di Mazmur 62 menggambarkan dengan sangat tepat tahap perkembangan sikap percaya: “Hanya Dia (Tuhan)lah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah” atau dalam Alkitab bahasa Inggris dikatakan “aku tidak akan terlalu goyah.” (ayat 3). Di beberapa ayat berikutnya Daud kembali menyatakan sikap percayanya kepada Allah dengan menggunakan kata-kata yang tepat sama, namun kemudian ia menambahkan “aku tidak akan goyah” (ayat 7). Jadi di antara ayat 3 dan ayat 7, Daud mengalami tahap perkembangan dari tidak menjadi “terlalu goyah” kepada “tidak goyah” sama sekali.
Kita perlu bersikap jujur dengan keadaan diri kita sendiri seperti yang dilakukan Daud. Sebelum sikap percaya kita benar-benar matang, hal terbaik yang dapat kita katakan adalah, “aku tidak akan terlalu goyah!” Pada tahap ini, berbagai kesulitan dan perlawanan akan menggoyahkan kita, tetapi semuanya itu tidak akan menggulingkan kita. Namun, jika kita terus memelihara dan mengembangkan sikap percaya, maka kita akan sampai pada tahap di mana kita dapat berkata, “Aku tidak akan goyah” – titik! Tidak ada satu hal pun yang dapat menggoyahkan kita – terlebih lagi menggulingkan kita.
Sikap percaya seperti ini ada pada tataran roh, bukan pada perasaan. Kita akan melihat kembali kesaksian pribadi Daud untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang hal ini. Daud berkata kepada Tuhan, “Waktu aku takut, aku ini percaya kepadaMu” (Mazmur 56:4). Di sini Daud menyadari adanya dua hal bertentangan yang mempengaruhi dirinya secara bersamaan: sikap percaya dan rasa takut. Perasaan takut terletak di wilayah permukaan, di dalam perasaan manusia; sedangkan sikap percaya terletak jauh di bawah permukaan, yaitu di dalam roh.
Sikap percaya yang matang dapat disamakan dengan sebuah sungai yang dalam, yang arus airnya sangat kuat dan mengalir secara tak terbendung menuju ke lautan. Sewaktuwaktu, angin ketakutan atau kebimbangan dapat meniup dari arah yang berlawanan dengan aliran arus sungai itu sehingga menimbulkan riak-riak air yang berbuih di permukaan sungai. Namun angin dan riak air itu tidak dapat mengubah atau menghalangi aliran air yang begitu dalam dan terus bergerak di bawah permukaan sungai yang mengalir seturut jalur, yang terbentuk oleh dasar sungai menuju ke lautan yang merupakan tujuan akhirnya.
Contoh sikap percaya yang matang dengan sempurna diungkapkan begitu indah dalam perkataan Paulus di II Timotius 1:12:
“Itulah sebabnya aku menderita di penjara ini. Aku sama sekali tidak malu akan hal itu, karena aku mengenal Dia yang kupercayai. Aku yakin bahwa Ia berkuasa memeliharakan apa yang telah kupercayakan kepadaNya sampai hari kedatanganNya yang kedua kali” (Alkitab versi Firman Allah Yang Hidup).
Berdasarkan semua standar duniawi yang ada, saat itu Paulus ada dalam keadaan gagal sama sekali. Sejumlah teman dan pendukungnya yang paling berpengaruh telah memalingkan muka dan menentangnya. Dari semua rekan sekerjanya yang paling dekat, hanya Lukas yang tetap setia kepadanya. Demas sudah meninggalkannya dan beralih pada kepentingan duniawi. Saat itu Paulus dalam keadaan renta dan sakit-sakitan, menjadi tawanan yang pergelangan kakinya diikat dengan rantai di penjara Roma, menantikan sidang penghakiman yang penuh ketidakadilan dan pelaksanaan hukuman oleh penguasa yang kejam dan tidak bermoral. Meskipun demikian, perkataan Paulus tetap mengumandangkan sikap percaya yang penuh kedamaian, ketenangan, dan tidak tergoyahkan. Paulus memandang melampaui batasan waktu dan ia menanti-nantikan satu hari yang sangat cerah – “hari” saat Hakim yang adil akan mengaruniakan “mahkota kebenaran” kepadanya (2 Timotius 4:8).
Bagi Paulus, dan juga Daud, sikap percaya merupakan hasil dari tindakan membuat komitmen. Hal itu dinyatakan sendiri oleh Paulus, “Ia berkuasa memeliharakan apa yang telah kupercayakan kepadaNya”. “Percaya” merupakan hasil dari “mempercayakan”. Bertahun-tahun sebelumnya, Paulus sudah menyatakan bahwa ia mempercayakan dirinya kepada Kristus, dan ini adalah sebuah pernyataan komitmen yang tidak dapat diubah. Berbagai pencobaan dan penderitaan yang kemudian datang, perlahan-lahan menghasilkan sikap percaya yang semakin mendalam dan menjadi buah yang matang dengan sempurna di penjara bawah tanah Roma, buah yang bersinar begitu cemerlang di tengah keadaan yang begitu suram.
Iman Sebagai Sifat Dapat Dipercaya
Sekarang kita akan melihat sisi kedua dari iman sebagai buah Roh, yaitu sifat dapat dipercaya. Berdasarkan ilmu bahasa, sifat dapat dipercaya sebenarnya merupakan arti mula-mula dari kata pistis. Dalam kamus bahasa Yunani Perjanjian Baru karyaArndt dan Gingrich's, arti khusus pertama yang diberikan untuk kata pistis adalah “kesetiaan, sifat dapat diandalkan”. Jika kita melihat Perjanjian Lama, hal yang sama berlaku juga pada perkataan Ibrani untuk iman, yaitu emunah. Arti utama emunah adalah “kesetiaan”; arti keduanya “iman.” Emunah merupakan turunan dari sebuah kata kerja yang menjadi asal kata amen – yang berarti “jadilah demikian” atau “biarlah diteguhkan".
Kedua arti yang sama tersebut melebur dalam pribadi dan sifat Tuhan. Jika kita memandang iman sebagai kepercayaan, satu-satunya hal yang menjadi landasannya adalah sifat Tuhan yang dapat dipercaya. Jika kita memandang iman sebagai sifat dapat dipercaya, maka hanya melalui sikap percaya kita Roh Kudus dapat menanamkan dalam diri kita sifat dapat dipercaya yang berasal dari Tuhan. Tuhan sendiri adalah awal dan akhir dari iman. SifatNya yang dapat dipercaya merupakan satusatunya landasan untuk kita mempercayaiNya: rasa percaya kita kepadaNya menghasilkan dalam diri kita sifat dapat dipercaya yang berasal dari Tuhan.
Barangkali tidak ada sifat lain dari Allah yang secara tegas terus-menerus ditekankan di sepanjang Alkitab selain dari sifatNya yang dapat dipercaya. Dalam Perjanjian Lama ada satu kata Ibrani yang khusus dipakai untuk menyebut sifat ini: chesed, yang diterjemahkan menjadi beberapa arti antara lain “kebaikan”, “kemurahan hati”, “kasih setia,” atau “belas kasihan”. Namun, tidak ada satu pun dari terjemahan itu yang mengungkapkan dengan lengkap arti sesungguhnya dari kata itu.
Ada dua ciri menonjol dari chesed Tuhan. Pertama, chesed merupakan ungkapan dari kasih karunia Tuhan yang bersifat cuma-cuma. Hal ini adalah sesuatu yang melampaui segala hal yang layak diterima manusia atau dituntut manusia sebagai haknya. Kedua chesed selalu dilandaskan pada ikatan perjanjian yang Allah lakukan secara sukarela dengan manusia. Kita dapat menggabungkan kedua ciri ini dengan mengatakan bahwa chesed Tuhan adalah sifat Tuhan yang dapat dipercaya dalam menggenapi komitmen yang dituangkanNya dalam ikatan perjanjian Nya, yang melampaui segala sesuatu yang layak kita terima atau tuntut.
Dengan demikian, kita mendapati suatu kaitan yang sangat erat antara tiga pengertian penting dalam bahasa Ibrani: emunah, iman atau kesetiaan; chesed, sifat Allah yang dapat Iman Sebagai Sifat Dapat Dipercaya dipercaya; berith, ikatan perjanjian. Ini adalah tema yang berulangkali muncul dalam serangkaian ayat di Mazmur ini:
Kesetiaan (emunah)-Ku dan kasih (chesed)-Ku menyertai dia …Aku akan memelihara kasih setia (chesed)-Ku bagi dia untuk selama-lamanya, dan perjanjian (berith)-Ku teguh (amen) bagi dia …Tetapi kasih setia (chesed)-Ku tidak akan Kujauhkan dari padanya dan Aku tidak akan berlaku curang dalam hal kesetiaan (emunah)-Ku. Aku tidak akan melanggar perjanjian (berith)-Ku, dan apa yang keluar dari bibirKu tidak akan Kuubah.Mazmur 89: 25, 29, 34-35.
Ayat terakhir di atas memperlihatkan hubungan istimewa antara sifat dapat dipercaya Tuhan dengan perkataan yang keluar dari mulutNya. Ada dua hal yang tidak akan pernah dilakukan Tuhan: mengingkari perjanjianNya atau membatalkan apa yang sudah diucapkanNya. Sifat dapat dipercaya Tuhan, yang ditanamkan oleh Roh Kudus, akan menghasilkan karakter yang sama dalam diri kita. Kita akan menjadi manusia yang memegang teguh integritas dan kejujuran kita.
Kita sudah melihat bahwa chesed Tuhan yang dinyatakan dalam komitmen perjanjianNya didasarkan pada kasih karuniaNya serta melampaui segala sesuatu yang layak kita terima atau tuntut. Hal ini juga akan tercermin dalam hubungan perjanjian kita dengan sesama umat percaya. Kita tidak akan membatasi diri hanya pada persyaratan keadilan atau suatu bentuk kontrak atau perjanjian yang sah menurut hukum manusia. Kita akan bersedia membuat komitmen penuh seperti yang Tuhan lakukan saat membuat ikatan perjanjian dengan kita – yaitu menyerahkan hidup kita untuk sesama. “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawaNya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita” (1 Yohanes 3:16). Dengan menyerahkan nyawa itulah kita masuk ke dalam hubungan ikatan perjanjian yang sempurna dengan Tuhan dan dengan sesama.
Alkitab menyampaikan sebuah gambaran mengerikan tentang runtuhnya standar moral dan etika yang akan menandai berakhirnya peradaban ini (lihat 2 Timotius 3:1-4). Sementara dunia semakin terperosok ke dalam kegelapan, umat Tuhan, sebaliknya, harus semakin berpendirian teguh untuk senantiasa hidup dalam terang persaudaraan. Kita harus memperlihatkan bahwa diri kita bersedia dan memenuhi syarat untuk memasuki serta memelihara hubungan ikatan perjanjian yang merupakan landasan kasih persaudaraan itu. Untuk tujuan itulah kita perlu memelihara dan mengembangkan sampai matang buah roh yang berupa sifat dapat dipercaya.
Rangkuman
Buah Roh berbeda dengan karunia Roh dalam dua hal. Pertama, karunia Roh dapat diberikan dan diterima melalui suatu kejadian yang berlangsung sesaat; sedangkan buah Roh harus dikembangkan melalui suatu proses yang memerlukan waktu, keahlian dan kerja keras. Kedua, karunia Roh tidak berhubungan langsung dengan sifat orang yang mempraktekkannya, sedangkan buah Roh merupakan ungkapan dari karakter seseorang. Idealnya, buah Roh dan karunia Roh harus menjadi satu perpaduan yang seimbang agar memuliakan Tuhan dan memenuhi keperluan umat manusia.
Sebagai buah Roh, iman dapat dipandang melalui dua cara berbeda: sebagai sifat percaya dan sifat dapat dipercaya. Sifat percaya terwujud melalui keadaan lahiriah yang stabil, yang akan semakin menguat saat sifat percaya itu semakin matang. Untuk memiliki sifat ini diperlukan satu tindakan awal berupa membuat suatu komitmen. “Mempercayakan” akan menghasilkan “mempercayai”. Kita melandaskan kepercayaan kita pada sifat Allah yang dapat dipercaya. Tuhan menyatakan kepada kita sifatNya yang dapat dipercaya dengan memenuhi komitmen dalam perjanjianNya, yang melampaui segala sesuatu yang layak kita terima atau minta. Selanjutnya, hal itu membuat kita menjadi manusia yang bersedia dan mampu memasuki serta memelihara komitmen dalam ikatan perjanjian, baik dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia.
Kode: TL-L060-100-IND