Untuk mempunyai otoritas, seseorang harus berada di bawah otoritas. Ini adalah prinsip yang mengatur hubungan di dalam rumah-tangga. Ketika seorang suami berada di bawah otoritas Kristus, maka dia akan mempunyai otoritas dari Kristus. Ketika seorang istri berada di bawah otoritas suaminya, maka dia akan mempunyai otoritas dari suaminya dalam rumah-tangga mereka. Tetapi, jika rantai otoritas ini terputus di suatu titik, maka otoritas itu akan terputus dalam kehidupan rumah-tangga. Ini adalah masalah besar dari kehidupan rumah-tangga yang terjadi di dunia saat ini. Ada pemutusan otoritas karena salah satu sambungan dari rantai itu keluar dari tempatnya. Apakah itu suami yang tidak menjadi cerminan dari Kristus, atau istri yang tidak menjadi cerminan dari suaminya. Seringkali kedua hal ini keluar dari tempatnya. Hasilnya: Kekacauan, ketidak-harmonisan, dan pemberontakan.

Ada banyak pengajaran yang menekankan tentang penundukan diri seorang wanita di dalam rumah-tangga. Banyak wanita Kristen menolak ajaran ini karena mereka merasa secara tidak langsung bahwa hal itu menunjukkan kalau mereka dinilai “lebih rendah.” Tetapi, hasil ini didapat karena adanya kesalah-pahaman yang mendasar tentang hubungan antara suami-istri.

Hubungan Yesus Dengan Bapa-Nya

Yesus mengatakan tiga hal tentang hubungan-Nya dengan Bapa, yang semuanya dapat diaplikasikan sama dengan hubungan antara suami-istri.

Pertama, Dia berkata, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30). Ada kesatuan yang penuh antara Yesus dan Bapa-Nya. Menjadi satu dengan Bapa, Yesus juga menjadi sama dengan Bapa. Filipi 2:6 memberitahu kita bahwa Dia memiliki hak ilahi untuk “menjadi sama denganAllah.” Dia adalahAllah.

Dalam cara yang sama, suami dan istri adalah satu. Alkitab memberitahu kita bahwa mereka adalah “satu daging” (Kejadian 2:24; Matius 19:5-6). Satu bagian dari daging seseorang tidak bisa dinilai “lebih rendah” dari bagian daging yang lain; semua bagian dari daging itu adalah sama. Dalam hal apapun, penundukan istri terhadap suami tidak mungkin menunjuk kepada suatu tingkat yang lebih rendah, karena Alkitab dengan jelas menunjukkan bahwa Tuhan menganggap suami dan istri adalah sama kedudukannya (satu) di dalam tubuh Kristus (Galatia 3:28).

“supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa...” (Yohanes 5:23). Bapa sendiri telah menghormati Anak dengan menempatkan seluruh ciptaan di bawah kaki-Nya (Efesus 1:22).Adalah sebuah kesukaan bagi Bapa untuk menghormati Anak. Bapa sendiri yang menginginkan untuk meninggikan Anak dan meletakkan segala sesuatu dibawah kaki-Nya. Tidak pernah terdapat kata tentang Bapa yang “merendahkan” Anak-Nya, atau mencoba mengambil penghormatan lebih daripada Anak-Nya. Itu adalah kehendak Bapa sendiri yang menginginkan untuk menghormati, mengangkat, dan menentukan Yesus diatas semua ciptaan-Nya.

Sikap seorang suami terhadap istrinya seharusnya mencerminkan sikap Bapa terhadap Yesus. Suami seharusnya senang untuk menghormati dan meninggikan istrinya. Suami harus melakukan segala sesuatu dengan seluruh kekuatannya untuk membuat istrinya merasa dihargai, dihormati, dipuji, dan ditinggikan. Allah Bapa tidak akan mentoleransi sedikitpun penghinaan terhadap Yesus! Sikap seorang suami terhadap istri haruslah sama demikian. Istri tidak perlu untuk mencari sendiri kehormatannya atau menetapkan sendiri posisinya. Suami-lah yang seharusnya melakukan hal itu bagi istrinya. Dalam hal ini, semua pandangan tentang kedudukan istri yang dinilai “lebih rendah” sudah tidak lagi berlaku.

Apa yang akan terjadi jika kita, pria secara konsisten (terus-menerus) memperlakukan istri kita dengan cara seperti ini? Dalam banyak kasus, mereka dengan senang hati akan mau untuk mengakui kita sebagai kepala dari rumah-tangga. Mereka tidak akan lagi menginginkan untuk bertengkar demi pengakuan atau kebebasan.

Dalam Ibrani 1:3, penulis memberitahu kita bahwa Yesus adalah “cahaya kemuliaan Allah (Bapa-Nya).” Dalam 1 Korintus 11:7 Paulus memberitahu kita bahwa “perempuan (istri) menyinarkan kemuliaan laki-laki.” Sekali lagi, disini ada sebuah kesamaan antara hubungan Allah Bapa terhadap Yesus dan hubungan suami terhadap istrinya. Bapa menyatakan kemuliaan- Nya dalam Pribadi Yesus. Suami menyatakan kemuliaannya dalam pribadi istrinya.

Jika seorang istri bisa merasa tenang, aman, dan dibela, maka hal itu akan membawa kemuliaan bagi suaminya. Hal itu menunjukkan bahwa suaminya memperlakukan dia sebagaimana mestinya. Tetapi jika istri merasa pahit, dendam, dan tidak aman, maka itu akan membawa aib bagi suaminya. Hal itu menunjukkan bahwa suaminya sedang gagal dalam menjalankan tanggung jawab terhadap istrinya. Seorang pengkotbah yang terkenal pernah ditanya tentang apakah seorang pria tertentu adalah orang Kristen yang baik. Dia menjawab: “Saya tidak tahu; Saya belum pernah bertemu dengan istrinya. Saya akan memberitahu Anda setelah saya bertemu dengan istrinya!”

Ini membawa kita kepada kenyataan yang ketiga tentang hubungan Bapa dan Yesus. Yesus berkata, “...Bapa lebih besar daripada Aku” (Yohanes 14:28). Ini adalah kenyataan yang berlawanan: Yesus adalah sama dengan Bapa, tetapi Dia juga berkata bahwa Bapa lebih besar. Dikatakan tentang Yesus bahwa Dia “tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan”(Filipi 2:6). Dia tidak berjuang untuk mendapatkan penghargaan atau otoritas, tetapi dengan rela menundukkan diri-Nya kepada Bapa dan mengijinkan Bapa-Nya untuk mengisi tempat-Nya yang semestinya sebagai Kepala. Dengan tetap dalam penundukkan terhadap Bapa-Nya, Yesus mempertahankan kesatuan dengan Allah Bapa sebagai Kepala. Jika Dia meninggalkan kerelaan-Nya untuk tetap tunduk kepada Bapa, maka kesatuan-Nya dengan Kepala akan terpecah.

Demikian hal yang sama, meskipun istri adalah satu dengan suami – dan dengan demikian juga sama dengan suami – Tuhan memanggil istri untuk menundukkan dirinya kepada suaminya demi kesatuan dan ketentraman dalam rumah-tangga. Jika dia menolak, maka akan ada perpecahan kesatuan dalam rumah- tangga itu, dan hasilnya adalah kekacauan. Ribuan dari istri-istri orang Kristen yang bahagia akan bersaksi bahwa tempat perlindungan, dibawah otoritas suaminya, adalah benar-benar tempat yang sudah dirancang Tuhan untuk keamanan dan kedamaian.

Bagaimanapun, hal ini menempatkan tanggung-jawab yang teramat besar terhadap pihak istri. Ini berarti bahwa tidak ada pria yang bisa benar-benar menjadi kepala dari rumah-tangga kecuali istrinya tunduk terhadap otoritas dari suaminya. Tidak ada kepala yang bisa berfungsi tanpa ada leher yang menopangnya; dan tidak ada pria yang bisa benar- benar menjadi kepala rumah-tangga tanpa ada penundukan dan dukungan dengan penuh kerelaan dari istrinya.

Apa yang akan terjadi jika salah satu dari pasangannya gagal untuk mengisi tempat yang sudah ditentukan Tuhan bagi hidupnya dalam rumah- tangganya? Apakah itu berarti membebaskan pasangan yang satunya lagi dari tanggung jawab? Tidak! Tanggung jawab yang paling mutlak setiap pasangan akhirnya adalah kepada Tuhan, bukan kepada pasangannya yang lain. Masing-masing mempunyai tempat untuk taat dihadapan Tuhan, dan apapun kelakuan dari pasangannya yang lain tidak akan mengubah hal ini.

Saya pernah mendengar prinsip yang dengan jelas digambarkan dalam sebuah sidang pengadilan. Hakim itu sedang bertanya kepada seorang pria yang ditilang karena melebihi batas kecepatan. “Apakah kamu berpergian dengan melebihi batas kecepatan?”

Pria itu menjawab, “Ada mobil-mobil lain juga yang lebih cepat daripada saya.”

Hakim itu menjawab kembali, “Kamu tidak bertanggung-jawab terhadap mobil-mobil yang lain! Kamu hanya bertanggung-jawab untuk mobil yang kamu kendarai . Apakah kamu mengendarai dengan melebihi batas kecepatan?” Dengan segan, pria itu mengakui kalau dia memang melebihi batas kecepatan.

Jadi, hal ini adalah antara suami dan istri. Suatu hari nanti “Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus...” (2 Korintus 5:10). Di hari itu, suami tidak akan diperlukan untuk menjawab kelakuan dari istrinya, atapun sebaliknya. Setiap pasangan akan menjawab langsung kepada Tuhan untuk peran yang telah dia mainkan dalam rumah-tangganya. Jadi, hal ini adalah antara suami dan istri. Suatu hari nanti “Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus...” (2 Korintus 5:10). Di hari itu, suami tidak akan diperlukan untuk menjawab kelakuan dari istrinya, atapun sebaliknya. Setiap pasangan akan menjawab langsung kepada Tuhan untuk peran yang telah dia mainkan dalam rumah-tangganya.

Peran Dari Ayah

Dalam surat terakhir yang saya tulis, Saya menunjukkan bahwa ayah adalah “ibu rumah-tangga” yang paling utama. Kecuali jika seorang ayah mengambil tempatnya, menerima tanggung-jawabnya, dan berdiri sama seperti yang Tuhan maksudkan yaitu untuk menjadi kepala dari rumah-tangganya, rencana Tuhan tidak akan bisa berjalan bagi rumah-tangganya. Jika seorang ayah tidak menjadi kepala yang baik dalam rumah-tangganya, maka rumah-tangganya akan jatuh dalam kekacauan.

Dalam hubungan-Nya dengan gereja, Kristus memegang tiga jabatan yang didelegasikan kepada-Nya oleh Allah Bapa. Dia adalah Imam, Nabi, dan Raja (atau Pemerintah). Demikian juga dalam setiap rumah-tangga, seorang ayah berdiri dalam hubungan yang sama seperti itu terhadap keluarganya. Ada tiga jabatan utama yang didelegasikan oleh otoritas ilahi kepada para ayah, yang dimana dia tidak bisa melepaskan tanggung jawab itu dalam pandangan Tuhan. Setiap ayah dalam setiap dispensasi (takdirnya) dipanggil Tuhan untuk menjadi imam, nabi, dan raja atas rumah-tangganya.

  • Sebagai Imam, dia mewakili keluarganya di hadapan Tuhan.
  • Sebagai Nabi, dia melakukan yang sebaliknya; dia mewakili Tuhan di hadapan keluarganya.
  • Sebagai Raja, dia memerintah keluarganya atas nama Tuhan.

Sebagai Imam, seorang ayah dipanggil untuk menjadi penengah antara keluarganya dan Tuhan, membawa kebutuhan keluarganya dalam doa di hadapan Tuhan, dan meminta perlindungan dan berkat Tuhan atas mereka. Ini tidak bisa dilakukannya tanpa iman. Tidak kurang, tanggung jawab seorang ayah adalah melatih imannya demi keluarganya.

Dalam Perjanjian Lama, hal ini dicontohkan dalam peraturan Paskah orang Yahudi. Dalam setiap keluarga, sudah menjadi tugas setiap ayah untuk menyembelih domba yang dikorbankan dan memercikkan (membubuhkan) darahnya di ambang atas dan kedua tiang pintu rumahnya (Keluaran 12:3-7). Melalui tindakan iman dan ketaatan ini, dia memperoleh perlindungan dari Tuhan bagi keluarganya.

Dalam Perjanjian Baru, prinsip yang sama digambarkan secara dramatis di Markus 9:20-27, dimana seorang ayah yang anaknya kerasukan roh jahat datang kepada Yesus. Memohon bantuan demi anaknya, dia berkata kepada Yesus, “Sebab itu jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami." Yesus segera mengembalikan tanggung-jawab atas anak itu kepada ayahnya dan berkata, "Katamu: jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya! (dalam bahasa inggrisnya dikatakan bahwa Yesus berkata jika ayah anak itu dapat percaya kepada-Nya, maka tidak ada yang mustahil).” Anak itu bisa mengalami pelepasan tergantung kepada iman dari ayahnya. Seorang ayah mempunyai hak dan juga tanggung-jawab untuk percaya demi anak-anaknya.

Orang-orang cukup sering membawa anak kecil kepada saya untuk didoakan pelepasan, tetapi saya belajar untuk bertanya kepada mereka, “Apakah kamu orang tua anak ini?” Kadang-kadang orang itu hanyalah bibi atau tetangga anak itu yang berharap agar dia cepat sembuh. Seringkali orang tua dan khususnya bagi ayah tidak bisa ditemukan dimanapun. Saya tidak menemukan satu dasar pun dalam Alkitab untuk melayani seorang anak kecuali dengan dasar iman dari salah satu atau dari kedua orang tua anak itu.

Satu orang yang sangat jarang datang kepada saya untuk meminta bantuan bagi seorang anak adalah ayah. Seluruh skema operasi kita sudah tidak lagi berjalan, dan kita berpikir kenapa Tuhan tidak lagi memberkatinya. Dalam melayani seorang anak, tidak ada satu pengkotbah pun yang bisa menggantikan tempat seorang ayah.

Jabatan yang kedua yang diberikan Tuhan bagi setiap ayah adalah sebagai nabi dia mewakili Tuhan di hadapan keluarganya. Seorang ayah melakukan hal ini baik dia menyadarinya atau tidak baik itu perwakilan yang baik atau tidak. Banyak orang yang terlibat dalam konseling atau bekerja dengan anak-anak akan menyaksikan kenyataan bahwa semua anak-anak membentuk impresi dasar mereka terhadap Tuhan dari satu sumber ayah mereka. Apakah itu menjadi suatu keanehan jika banyak dari anak-anak muda hanya mau berurusan sedikit atau bahkan tidak mau berurusan sama sekali dengan Tuhan?

Jabatan ketiga seorang ayah dalam rumah-tangganya adalah sebagai raja. Sebagai raja, seorang ayah diwajibkan untuk memerintah keluarganya atas nama Tuhan. Dalam menggambarkan tentang persyaratan seorang pemimpin di gereja, Paulus menyebutkan bahwa dia haruslah “seorang kepala keluarga yang baik...” (1 Timotius 3:4). Dalam bahasa inggrisnya dikatakan sebagai "one who rules his own house well." Kata “rule” berarti memerintah dan menunjukkan adanya suatu tindakan dari otoritas pemerintahan.Ada hubungan langsung antara pemimpin di dalam rumah-tangga dan pemimpin di dalam gereja. Rumah-tangga adalah tempat pembuktian bagi kehidupan dan pelayanan setiap pria.

Mari kita hadapi satu kenyataan yang sederhana dan objektif: Jika iman kita tidak bekerja di dalam rumah, maka itu tidak akan bekerja titik! Marilah kita jangan memberikan kepada dunia sesuatu yang bahkan tidak bekerja di dalam rumah kita sendiri! Dunia ini sudah mempunyai cukup banyak perselisihan dan ketidak- harmonisan. Dunia ini tidak membutuhkan lebih banyak lagi akan hal itu.

Bencana tragis yang banyak terjadi dalam rumah tangga adalah pria yang murtad. Beberapa pria mungkin merasa kata murtad terlalu keras bahkan menghina. Bagaimanapun juga, saya sudah menggunakan kata ini dengan penuh pertimbangan. Seorang yang murtad adalah seorang yang berkhianat, dan banyak sekali mayoritas pria yang berkhianat terhadap tiga tanggung- jawab utama mereka sebagai suami, ayah, dan pemimpin rohani. Hal ini meninggalkan kita dengan banyaknya lembaga-lembaga/perkumpulan-perkum- pulan matriarkal yang didominasi oleh kaum wanita.

Biarkan saya bertanya kepada Anda: Siapa, jika ada, yang biasanya berdoa dengan anak-anaknya pada waktu tidur? Siapa yang membantu mereka bersiap-siap untuk sekolah Minggu? Siapa yang membacakan mereka cerita-cerita Alkitab? Siapa yang berdoa ketika anaknya sakit? Dalam banyak kasus, orang itu adalah Ibu. Seorang Ibu memang seharusnya turut mengambil bagian dalam pertumbuhan rohani si anak, tetapi ayah-lah yang dipanggil Tuhan untuk menjadi pemrakarsa dan pemimpin dalam kehidupan rohani di keluarga.

Ketika anak menjadi nakal, kita mulai menyalahkan gereja....lingkungan....sekolah semua orang kecuali dia yang seharusnya menerima tuduhan itu dan itu adalah si ayah. Banyak anak laki-laki berpikir bahwa gereja dan hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan adalah "kewanita-wanitaan" karena mereka melihat hanya ibu mereka yang terlibat didalamnya. Johnny kecil bertumbuh dengan berkata kepada dirinya sendiri, "Saya ingin menjadi seperti Papa." Dengan berusaha menjadi "seperti Papa", dia memutuskan untuk melihat hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan sebagai "tempat yang lebih lemah" (1 Petrus 3:7).

Dalam kehidupan sebenarnya, ketika Johnny kecil gagal dalam kehidupannya ketika dia putus sekolah atau menjadi anak nakal sesungguhnya bukan Johnny yang gagal, tetapi ayahnya. Saya mulai bisa melihat bahwa tidak ada yang namanya kejahatan remaja, yang ada hanya kejahatan orang dewasa. Bukan anak-anak itu yang sebenarnya gagal, tetapi orang tua mereka khususnya ayah mereka yang telah gagal.

Saudara, ijinkan saya bertanya kepada Anda: Berapa nilai Anda sebagai seorang suami dan ayah? Anda mungkin mencapai sukses dalam bisnis Anda atau memperoleh popularitas dalam suatu perkumpulan Anda mungkin menjadi presiden dari sebuah bank, atau mendapat skor dari permainan golf yang mengejutkan teman-teman Anda tetapi jika Anda gagal sebagai seorang suami dan sebagai seorang ayah, maka Anda adalah orang yang gagal di mata Tuhan.

2
Membagikan